Minggu, 16 Mei 2010

Dampak Ekspansi Sawit Skala Besar

Buah kelapa sawit yang siap diolah. (FOTO Mordiadi/ Equator)

PONTIANAK. Sebanyak 60 persen dari jumlah total penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian. Makanya Indonesia dikenal sebagai negara agraris. Namun sejak Belanda menerapkan sistem perkebunan skala besar pada 1911, kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan.

Kalbar merupakan salah satu provinsi yang dijadikan sebagai lokasi pengembangan dan pembudidayaan kepala sawit sejak 1978. Dengan orientasi untuk menjadikan Indonesia sebagai nomor 1 dalam bidang perkebunan kelapa sawit.

Pemerintah memberikan kemudahan-kemudahan bagi perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan untuk menanamkan modalnya. Melihat kondisi itu, roda perekonomian di Kalbar ini digerakkan oleh perkebunan kelapa sawit disusul karet.

Ditemui dalam diskusi publik “Menelaah Perkebunan Sawit di Kalbar” belum lama ini, seorang petani sawit, Swisto Uwin mengatakan eksploitasi lahan untuk perkebunan sawit skala besar memberikan dampak luas bagi masyarakat lokal di sekitarnya.

“Kekayaan alam tereksploitasi, tergusurnya budaya dan kawasan penyangga kehidupan masyarakat lokal. Serta minimnya kesiapan sosial serta informasi yang tidak akurat bagi masyarakat,” jelas Swisto.

Menurut Swisto, kedatangan proyek pembangunan perkebunan tidak adanya persetujuan yang disepakati bersama oleh masyarakat lokal dan hanya diwakili oleh pihak tertentu saja. “Inilah yang mengakibatkan konflik terjadi ditingkat masyarakat lokal,” ungkapnya.

Kedatangan perkebunan yang mengeksploitasi wilayah sebagai sumber penghidupan inilah yang membuat masyarakat lokal terkejut. Namun, kata Swisto, tidak ada kejelasan pola atau sistem yang akan diterapkan oleh perusahaan yang menjadi pertimbangan bagi masyarakat dalam mengambil keputusan, dalam keikutsertaannya sebagai penopang dari keberlangsungan perkebunan skala besar itu.

“Sehingga masyarakat lokal tersebut menerima kehadiran perkebunan skala besar dan tidak ada ruang untuk mempertimbangkan segala keputusan bagi dirinya,” terang Swisto.

Lebih lanjut Swisto mengatakan, masyarakat sebagai petani sawit mengalami fenomena masalah. Di antara fenomena tersebut, menyebabkan masyarakat yang menggantungkan hidup sebagai petani tersebut gagal melangsungkan kehidupannya. “Salah satunya yakni terjadinya kekagetan budaya karena tidak terbiasa bertani secara intensif kemudian dipaksa harus bertani secara intensif,” ungkap Swisto.

Tidak hanya itu, kata dia, sistem perkebunan skala besar kelapa sawit membawa perubahan dalam memaknai tanah dan kekayaan alam. Dimana, tanah tidak lagi memiliki fungsi ekonomi, sosial, budaya dan politik. Namun, tanah berubah nilai sebatas dipandang sebagai komiditi yang menyebabkan terjadi jual beli tanah.

Kemudian, lanjutnya, faktor lain yakni perampasan tanah yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan memunculkan monopoli yang dilakukan oleh perusahaan di satu sisi dan di sisi lain menyempitnya bahkan hilangnya penguasaan maupun kepemilikan tanah oleh rakyat. “Padahal tanah merupakan satu-satunya sumber hidup dan penghidupan ekonomi masyarakat,” tegas Swisto.

Dengan kondisi tersebut, Swisto berkesimpulan bahwa hingga kini petani kelapa sawit belum menjadi petani yang memiliki kedaulatan dan kemandirian dalam menjalankan pekerjaannya. Dengan keadaan ekonomi yang bergantung pada perusahaan baik swasta ataupun negeri.

“Belum lagi jika masyarakat yang notabene petani kelapa sawit kritis maka akan mendapatkan perlakuan semena-mena dari perusahaan,” jelas Swisto.

Dampak perkebunan sawit bagi lingkungan sebetulnya bisa dikendalikan asalkan memerhatikan aspek penanaman dan pemanfaatan kelapa sawit secara berkelanjutan. Terlebih lagi dengan diberlakukannya Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). RSPO merupakan organisasi yang didirikan Swiss pada tahun 2004 dan memiliki kantor sekretariat di Malaysia. Anggota RSPO terdiri dari pemilik perkebunan kelapa sawit, perusahaan pengelola sawit dan produk turunannya, organisasi sosial nirlaba, organisasi lingkungan hingga perbankan yang memberikan pendanaan bagi industri sawit.

Tata Ruang Ancam sawit

Tribune Pontianak, 26 Januari 2011

Investor pilih wait and see.

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan menjelaskan ada tujuh hambatan yang bakal dihadapi pelaku kelapa sawit dalam negeri. Akibatnya, Industri sawit akan kesulitan melakukan ekspansi dan atau mengalami penurunan daya saing jika hambatan tersebut tidak dihilangkan.

Hambatan pertama adalah, masalah lahan bagi pengembangan kebun baru yang diakibatkan ketidaktuntasan masalah tata ruang nasional dan rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWPP). Selain adanya ketidak pastian hukum terhadap status legalitas lahan.

” Kondisi ini membuat pemegang konsesi dan investor memilih sikap wait and see yang tentu saja akan berdampak kepada tingkat ekspansi lahan, ” jelas Fadhil di Jakarta, Selasa (25/1).

Hambatan kedua, kebijakan moratorium hutan primer danlahan gambut justru dapat mempersulit penuntasan masalah lahan yang sebelumnya telah dihadapkan dengan masalah RTRWP. Fadhil menilai, Inpres mengenai moratorium akan bertabrakan dengan regulasi lain seperti UU Nomor 41 tahun 1999 mengenai kehutanan.

“atas dasar itulah, kebijakan moratorum menjadi kontraproduktif bagi pengembangan investasi kelapa sawit. Meskipun pemerintah menyediakan lahan terdegradasi seluas 35,2 juta Ha tetapi status areal tersebut masih meragukan karena termasuk kawasan hutan, “katanya.

Ketiga, bea keluar CPO yang tinggi dan bersifat progresif seperti berlaku sekarang ini terbukti tidak maksimal untuk menekan volume ekspor CPO dan belum mampu mendorong pengembangan industri hilir dalam negeri. Sebaliknya, sistem bea keluar diyakini tidak adil bagi produsen bahan baku baik perkebunan negara atau swasta maupun petani rakyat karena “tidak menikmati” kenaikan margarin yang seharusnya didapatkan dari tingginya harga CPO dunia saat ini.

“jadi tidak tepaaaat apabilabea keluar dijadikan instrumen utama karena sebenarnya industri hilir lebih membuat membutuhkan insentif yang tepat dan menarik,”ucapnya.

Keempat, pengembangan perkebunan kelapa sawit yang mengarah ke Indonesia Timur kurang didukung infrastrukturyang memadai seperti pelabuhaan ekspor CPO di Kalimantan untuk memudahkan penjualan CPO keluar negeri. Denagn pertimbtimbangan , total produksi CPO dari wilayah Kalimantan dan Sulawesi tel;ah mencapai 30 persen dari produksi nasional. Diharapkan pula pembangunan klaster industri segera di realisasikan untuk pengembangan industri hilir kelapa sawit, ” tutur Fadhil.

Kelima, pelaku usaha sawit merasa dirugikan dengan penerapan aturan perpajakan mengenai PPn atas produk primer TBS. pasalnya, PPn TBS selama ini dibebaskan sehingga pajak masukan atas  barang-barang faktor produksi tidak bisa dikreditkan dan menjadi beban tambahan. Akibatnya menimbulkan pajak berganda (double taxtion) kepada perusahaan yang terintegrasi (produksi-pengolahaan).

Keenam, kampanye anti sawit tetap berlangsung bahkan ada kemungkinan semakin kuat tekanan yang diberikan kepada pelaku inindustri sawit.

Ketujuh, Indonesia harus melakukan program mitigasi perubahaan iklim dengan kekuatan sendiri tanpa melibatkan bantuan asing. “keterlibatan dana asing hanya akan membuat Indonesia makin tergantung pada negara lain,” kata Fadhil.

***

 

Gerakan Indonesia Bertanya

Telah launching Gerakan Indonesia Bertanya
dengan menggunakan berbagai situs jejaring sosial yang ada.

Tweeter : @IndonesianAsk
Facebook Group : Indonesia bertanya
Facebook Profile : Koalisi GRIB
You Tube : GRIB2011

Dengan menggunakan jejaring ini Teman teman bisa terbuka untuk membuat pertanyaan
terkait dengan perubahan iklim, COP 16, dan pemanasan global serta sistem yang ada didalamnya.
Konferensi Pers Indonesia bertanya untuk keadilan Iklim

9th Synex Meeting

30 Persen DAS di Kalbar Rusak

Lebih dari 30 persen daerah aliran sungai (DAS) di Kalbar mengalami kerusakan yang parah. Persentase kerusakan 90 persen, dilihat dari kualitas air yang berwarna kuning kehitaman atau berkarat.

Direktur Eksekutif Walhi Kalbar, Hendi Candra, Jumat (16/7/10), menuturkan, DAS di Kalbar rusak parah akibat penambangan dan pembukaan perkebunan sawit. Satu diantara sungai yang menduduki peringkat tertinggi kerusakannya yakni Sungai di Kabupaten Landak.
Baca lebih lanjut

Peta Wilayah Batu Pansap

Masyarakat Dusun Batu Pansap secara partisipatif telah melakukan pemetaan wilayah.

video kayan – sentarum