Dampak Ekspansi Sawit Skala Besar
PONTIANAK. Sebanyak 60 persen dari jumlah total penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian. Makanya Indonesia dikenal sebagai negara agraris. Namun sejak Belanda menerapkan sistem perkebunan skala besar pada 1911, kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan.
Kalbar merupakan salah satu provinsi yang dijadikan sebagai lokasi pengembangan dan pembudidayaan kepala sawit sejak 1978. Dengan orientasi untuk menjadikan Indonesia sebagai nomor 1 dalam bidang perkebunan kelapa sawit.
Pemerintah memberikan kemudahan-kemudahan bagi perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan untuk menanamkan modalnya. Melihat kondisi itu, roda perekonomian di Kalbar ini digerakkan oleh perkebunan kelapa sawit disusul karet.
Ditemui dalam diskusi publik “Menelaah Perkebunan Sawit di Kalbar” belum lama ini, seorang petani sawit, Swisto Uwin mengatakan eksploitasi lahan untuk perkebunan sawit skala besar memberikan dampak luas bagi masyarakat lokal di sekitarnya.
“Kekayaan alam tereksploitasi, tergusurnya budaya dan kawasan penyangga kehidupan masyarakat lokal. Serta minimnya kesiapan sosial serta informasi yang tidak akurat bagi masyarakat,” jelas Swisto.
Menurut Swisto, kedatangan proyek pembangunan perkebunan tidak adanya persetujuan yang disepakati bersama oleh masyarakat lokal dan hanya diwakili oleh pihak tertentu saja. “Inilah yang mengakibatkan konflik terjadi ditingkat masyarakat lokal,” ungkapnya.
Kedatangan perkebunan yang mengeksploitasi wilayah sebagai sumber penghidupan inilah yang membuat masyarakat lokal terkejut. Namun, kata Swisto, tidak ada kejelasan pola atau sistem yang akan diterapkan oleh perusahaan yang menjadi pertimbangan bagi masyarakat dalam mengambil keputusan, dalam keikutsertaannya sebagai penopang dari keberlangsungan perkebunan skala besar itu.
“Sehingga masyarakat lokal tersebut menerima kehadiran perkebunan skala besar dan tidak ada ruang untuk mempertimbangkan segala keputusan bagi dirinya,” terang Swisto.
Lebih lanjut Swisto mengatakan, masyarakat sebagai petani sawit mengalami fenomena masalah. Di antara fenomena tersebut, menyebabkan masyarakat yang menggantungkan hidup sebagai petani tersebut gagal melangsungkan kehidupannya. “Salah satunya yakni terjadinya kekagetan budaya karena tidak terbiasa bertani secara intensif kemudian dipaksa harus bertani secara intensif,” ungkap Swisto.
Tidak hanya itu, kata dia, sistem perkebunan skala besar kelapa sawit membawa perubahan dalam memaknai tanah dan kekayaan alam. Dimana, tanah tidak lagi memiliki fungsi ekonomi, sosial, budaya dan politik. Namun, tanah berubah nilai sebatas dipandang sebagai komiditi yang menyebabkan terjadi jual beli tanah.
Kemudian, lanjutnya, faktor lain yakni perampasan tanah yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan memunculkan monopoli yang dilakukan oleh perusahaan di satu sisi dan di sisi lain menyempitnya bahkan hilangnya penguasaan maupun kepemilikan tanah oleh rakyat. “Padahal tanah merupakan satu-satunya sumber hidup dan penghidupan ekonomi masyarakat,” tegas Swisto.
Dengan kondisi tersebut, Swisto berkesimpulan bahwa hingga kini petani kelapa sawit belum menjadi petani yang memiliki kedaulatan dan kemandirian dalam menjalankan pekerjaannya. Dengan keadaan ekonomi yang bergantung pada perusahaan baik swasta ataupun negeri.
“Belum lagi jika masyarakat yang notabene petani kelapa sawit kritis maka akan mendapatkan perlakuan semena-mena dari perusahaan,” jelas Swisto.
Dampak perkebunan sawit bagi lingkungan sebetulnya bisa dikendalikan asalkan memerhatikan aspek penanaman dan pemanfaatan kelapa sawit secara berkelanjutan. Terlebih lagi dengan diberlakukannya Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). RSPO merupakan organisasi yang didirikan Swiss pada tahun 2004 dan memiliki kantor sekretariat di Malaysia. Anggota RSPO terdiri dari pemilik perkebunan kelapa sawit, perusahaan pengelola sawit dan produk turunannya, organisasi sosial nirlaba, organisasi lingkungan hingga perbankan yang memberikan pendanaan bagi industri sawit.
Filed under: Uncategorized | Leave a comment »